Salaam. Kalau bercakap pasal kawan, saya teringat ni suatu kata-kata. Tidak pasti pulak ianya hadith atau apa, tapi it goes something like this;
“Kawan yang baik adalah kawan yang apabila kaulihat wajahnya, tenanglah hati dalam mengingati Tuhan”
Kenyataannya, sangat susah oh, mau cari kawan macam neh. Sangat sukar dan kalau adapun, it is a very isolated case. But ‘re, I found one; a man. Sangat pelik, tapi hakikatnya sukar ditolak. Kalau kita renung, bukan dialah yang bertuah tetapi saya. Sebab yang dikurniai kelebihan untuk memiliki kawan sebegini adalah saya. Macam makan ais bha, bukan ais tu yang bertuah tapi kita yang memiliki yang merasanya. So, let’s get to the scene.
Waktu tu, suatu aktiviti kecil-kecilan sedang berlangsung. Semua budak maktab dikumpulkan dan duduk dalam satu group. And then, his name was called and all eyes were on him (esp. Girls, esp. FarahFoxy). Lepas tu pak cik yang serahkan prop genggam dua-dua bahunya and say, “Hensemmm..”
Well, the ovation was very loud. Tapi ini ging buat kool ja, tanpa rasa provoked.
And I began to think if I were in his shoes, would I have the strength to overcome the pride? Ya, sangat pelik soalan ini sebab jujur:- adalah apa pada rupa saya. Jerawat banyaklah. Hehehe~sampailah saya teringat suatu firmanullah;
“...and Allah neither Look upon your race nor the colour (beauty) of your skin but your imaan...”
Semasa saya kecil, saya manusia jongang. Gigi terkeluar sebagai kesan sikap menghisap ibu jari yang kritikal. Semua menjauh dari saya, sepanjang saya membesar. Except for Syamsir, Shahrin, Maria and Leonard (wonder where they are, right now), everyone looked at me with a very provocative stare. Anywhere I went, it always felt like that. I became an anti-social, accursed with the belief that none was sincere enough to befriend with a tooth-abrupt kid like me.
Bila renung balik, sebenarnya yang menjarakkan saya dengan orang lain bukanlah mereka, tetapi saya. Berasa low profile, I chose to segregate myself and the result was and is clear. Right until now, I lack the skills in communicating with people. Dan atas sebab inilah, saya sukar menyuarakan rasa.
Balik kepada cerita di atas, satu lagi benda yang saya berjaya ekstrak adalah betapa singkatnya hidup kita ini. Betapa tidak kekalnya semua keindahan yang kita miliki sekarang. Sound unrelated, but come to think of it:- that beauty which all peoples admire will no longer appraisable once he went unto the grave. Semua akan dapat layanan yang seadilnya, bergantung kepada perangai semasa hidup.
So, what does I lost rather than gain? Jika rupa tiada makna di sisiNya, mengapa perlu rasa kerugian atas wajah yang tidak cantik/kacak?
^P/S: If I were given the chance to have a face, I would choose Yassin Yunus'. :p